Senin, 09 Juni 2008

Sebuah Catatan Tentangnya


Sosok berjubah itu tegak berdiri dihadapan Sang Perawan. Tangannya memegang selembar daun lontar kering. Tatapannya sayu seolah tak ada lagi cahaya hidup diwajahnya. Sang Perawan membalas tatapannya dengan hati iba. Cadar yang menutupi wajahnya kini dibuka. Keduanya saling diam tak berkata-kata. Angin gurun menyapu pasir hingga bertebaran diudara.

“Dengarlah Wahai Perawan suci, Aku adalah seorang Petualang. Langkahku panjang menyusuri samudera hidup hingga kini bermuara disebuah negeri para Nabi. Disini aku mencoba tersenyum yang sepanjang hidupku baru kali ini diberi anugerah Tuhan menikmati wajahmu nan elok. Namun nikmat itu hanyalah sebatas memandang dan bukan untuk memiliki. Aku berterima kasih.”
“Aku menghormati kaummu yang memaksaku mentaati apa yang disabdakan Sang Khalifah. Aku tak menyalahkan siapa-siapa. Karena, akibat berlaku atas sebuah sebab.”
“Hai jiwa yang diberkahi kedamaian dihatinya, bolehkah aku bertanya, dimanakah sungai-sungai itu bermuara?”

Sang Perawan itu sesenggukan, matanya basah oleh tangis. Ia mencoba mengendalikan perasaannya dan bibirnya yg tipis itu menjawab

“ Semua bermuara pada samudera..”

“ Benar.. Itulah yang kupilih, cinta Tuhan lebih utama dari apa-apa yg kita rasa, itulah taqwa. Aku tahu tak bisa memilikimu tapi akupun yakin kelak kubisa. Terlalu mudah bagi-Nya untuk berkehendak.”

“Wahai jiwa yang dihatinya penuh ketaatan. Bermunajatlah seolah-olah kau adalah bayi berusia setahun. Tanyalah pada-Nya bagaimana cara meraih cinta itu. Kau tadi mengatakan bahwa sungai-sungai itu bermuara pada samudera, itulah yang kuinginkan. Aku ingin bebas mencintaimu, sebebas bercinta ditengah samudera. Terlalu luas untuk cinta hingga tak ada kuasapun yg mencegah kita.”

“Wahai jiwa yang lembut hatinya, Bawalah ini, tiap bait syair yang kau baca niscaya aku akan hadir dipenghulu hatimu yang kesepian. Kau nyalakan lentera kecilmu disitu ruhku kan menyambut. Letakanlah cinta dikedua tanganmu dan katakan aku menunggumu…”
Lalu sosok berjubah itu itu berlalu setelah meninggalkan selembar daun lontar kering diatas tumpukan balok kayu. Tatapan mata Sang Perawan terus mengikuti seolah tak ingin luput dari pandangan. Matanya yang indah itu terpejam seiring menghilangnya sosok berjubah tadi.

Gema adzan bertalu diseantero kota Al khaima, Sang Khaliq memanggil hamba-hamba-Nya dengan cinta. Cinta yang tak pernah berdusta bagi jiwa-jiwa yang patuh.
***************
Didalam sebuah kamar ratapan pilu terdengar disela-sela kalimat suci. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan, didalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya. Tidak pernah disentuh oleh Manusia manapun sebelum mereka dan tidak pula oleh jin..”

Sesenggukannya kian kencang ketika berhenti pada kalimat, “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.”
Sang Perawan tak lagi melanjutkan bacaannya. Ia meraih daun lontar pemberian orang berjubah tadi.
“..dan akulah bidadari itu untukmu..”
Perlahan bibirnya bergerak membaca syair-syair yang tertulis pada daun lontar tersebut. Dibalik daun lontar tersebut terdapat catatan-catatan yg mirip dengan surat. Matanya memperhatikan tiap-tiap kata dan hatinya tertarik untuk membacanya.

“Hai bidadari yang lembut hatinya..
sore itu aku seolah jatuh kedalam jurang kekaguman cinta. Suaramu nan lirih menyapaku, sebait kata kau ucapkan, ”Apa kabarmu hari ini?”
Tiba-tiba langit mendung menjadi cerah. Kau megubahnya dengan tanganmu yang mungil. Mungkin Tuhan mendengarmu bertutur. “Aku ingin soreku cerah, secerah wajah-Mu yang mengasihiku.”

Wahai bidadari yang cantik parasnya..
Aku tidaklah gusar bila pejantan-pejantan itu mendekat. Karena kau layak mendapatkannya. Siapa yg tak bisa jatuh hati padamu jika sebutir intanpun tak kalah indahnya dengan matamu yang jeli. Aku memujimu, sungguh..

Wahai bidadari yang santun pekertinya..
Ketika kau membawaku berkeliling taman kota Al Khaima hatiku terhenyak tatkala melihat isi dalam bungkusanmu. Kau tak membawa dunia, seperti para pesolek umumnya. Adalah sebuah mukena dengan sajadahnya lalu sebuah mushaf kecil berisi ayat-ayat cinta. Heranku memaksaku bertanya, Mengapa? Lalu bibir tipismu berkata. “Sore ini Tuhan memberiku cinta dengan keindahan dunia dan dia menyenangkan hatiku bersamamu. Aku tak ingin Ia murka akan kelalaianku.”

Ooh.. demi Malaikat yang bertasbih memuji-Nya, layakkah ia Kau puji?

Wahai Bidadari yang bersih hatinya..
Kau memberiku pelajaran mulia sore ini. Ketika ujung jemariku menyentuh tanganmu yang lembut itu, Kau berkata, “Tak ada yang bisa menyentuhku dengan cinta kecuali setelah apa yang mengikatku dalam ikatan suci. Demikianlah, Tuhan bersabda dan aku adalah hamba yang patuh.”

“Oh..Tuhanku, sesungguhnya aku mengharap cinta-Mu melebihi apa yang aku cintai dari apa-apa yang menjadi ciptaan-Mu. Sesungguhnya aku takut akan siksa-Mu. Aku kagum dengan makhluk-Mu yang menyita hatiku ini. Tuhanku, Bilakah engkau memberiku sebutir berkah untuk merasakan dalamnya merajut cinta bersama makhlukmu itu, niscaya aku adalah hamba-Mu yang bersyukur”

Air mata itu tak dapat terbendung lagi hingga tetesan terakhir membuat kedua matanya lebam. Daun lontar itu dipeluknya erat-erat dan cahaya suryapun lenyap dari pandangan mata berganti dinginnya malam yang menusuk.